Selasa, 27 Agustus 2013

Senja di Puri Lingsar

Seorang anak muda seusia remaja, sepulang sekolah mencari rumput di sekitar di kawasan puri lingsar Lombok barat nusa tenggara barat. Sejenak istirahat, merebahkan tubuhnya disebuah berugaq ( semacam saung atau bale-bale) di sebuah kebun yang tak luas. Berugaq itu, berdiri di pinggiran jalan setapak, disamping sebuah surau kecil ditengah sawah. Sesaat kemudian, seseorang keluar dari surau kecil, dan ikut duduk bersandar ditiang berugaq tersebut. Angin semilir, matahari menyeruak diantara dedaunan, menambah indah romansa desa itu kala senja. Sejurus langkah kata bertegur sapa, anak muda itu bertanya pada sang penjaga surau, “ apakah manfaat agama bagi kehidupan manusia, yang tidak tergantikan oleh hal lain?” Pertanyaan yang sederhana, bersahaja, namun mungkin membutuhkan renung yang dalam untuk menerangkannya secara mudah dan lugas. “Bila agama hanya untuk mencari kebahagiaan, bukankah kebahagiaan itu bisa didapatkan dengan kesungguhan dan pencapaian. Barang siapa yang bersungguh-sungguh dan mampu mencapai keinginannya, maka kemungkinan besar ia akan bisa bahagia, dengan atau tanpa agama”, tukas anak muda itu. “ Bila agama hanya untuk mencari kesejahteraan, bukanlah negeri-negeri yang tidak beragama sama sejahteranya dengan Negara yang beragama (?), Dan bukankah agama-agama yang miskin dan nestapa, justru dari negara-negara yang beragama itu” “Bila agama hanya untuk mencari kesembuhan, bukankah dengan tekhnologi hari ini, rumah sakit-rumah sakit besar tidak butuh agama lagi (?). Mungkin orang sudah tidak butuh lagi jampi-jampi, mantra dan semacamnya” “ Bila agama hanya untuk urusan kawin mawin, bukankah sekarang sudah cukup dengan catatan sipil belaka, toh mereka juga bisa menjadi keluarga yang rukun dan saling mengasihi sampai masa tuanya (?)” Penjaga surau itu tersungut-sungut menyimak celoteh anak muda itu. “Nampaklah kini, agama adalah perwujudan dari rutinitas palsu, kekacauan nilai-nilai kolektif, atau manipulasi psikologis. Orang-orang akan berusaha menguras hartanya hanya demi iming-iming pahala atau surga. Membunuh sesama manusia dengan kejam, untuk dan atasnama Tuhan. Berperang dan saling menghancurkan untuk atasnama agama,” sambungnya. “ Tapi setelah itu, mereka semua mengklaim sebagai pemegang tampuk kesucian, kebenaran, kasihsayang dan keagungan Tuhan. Mereka tampil tenang namun penuh lumpur, jernih namun penuh racun. Sandiwara apa itu?” “Mereka saling tuding, saling serang, saling tuduh, saling sesat menyesatkan, atas nama keyakinan dalam ruang pikiran masing-masing. Itulah lelucon para agama, yang paling nista dalam sejarah peradaban manusia” “Mereka hanya sekumpulan manusia yang kehilangan identitas dirinya. Mencari legitimasi dari ruang-ruang sampah makna yang sudah usang. Geraktubuh yang hialng dari rotasi energy kosmik-nya. Mengangkangi agama sebagai pelarian dari kemalasannya memahami sejarah dan peristiwa.” “Mereka hidup penuh sia-sia, tapabrata yang berenang pada telaga pikirannya sendiri. Ilusi yang diyakini sebagai kepercayaan, atau halusinasi yang dipandang sebagai perjumpaan mahluk gaib. Delusi yang penuh kemuakan. Kejernihan yang penuh tipudaya” gugat anak muda itu penuh sesal. Sang Penjaga Surau itu tersenyum, matahari kian dekat untuk pulang ke pembaringan. Kawasan lingsar, diselimuti lembayung dalam horizon yang kian menawan. Ia hendak menjawab pertanyaan anak muda itu. Namun petang sudah tiba, ia harus mempersiapkan perhelatan magrib malam itu. Surau lingsar, 30 mei 2013

Tidak ada komentar: