Rabu, 15 Agustus 2007

Prosa Prosa

Seorang lelaki distasiun kereta, oleh lalu pharmanegara

Lelaki itu berdesak-desakan diantara calon penumpang lainnya. Semua seperti hendak menaiki kereta yang entah datang jam berapa, hari apa, tanggal berapa, tiket kumalnya tidak menyatakan apa pun jua, keberangkatan kemana, tidak ada jurusan, tidak ada waktu, atau jenis kereta, Cuma sebuah potongan kartun warna hijau muda yang belum bermakna. Halaman, beranda dan emper- emper stasiun berjubel dengan manusia, juga dipojok-pojok samping toilet yang berbau pesing. Perempuan yang bersingkap keindahan dibawah jenjang lehernya, anak-anak yang menangis berteriak – teriak kegerahan, bayi-bayi berkeringat minta netek pada ibunya, pabrik susu yang nampak tidak dianggap sebagai pelanggaran undang –undang APP karena itu justru menunjukkan kasihsayang seorang bunda yang tulus dan bening. Seonggok tubuh tua yang duduk memeluk lutut berunduk tak berdaya, gadis yang lumer bedaknya, gincunya sudah kikis digerus tegukan air mineral. Tiang tiang kusam yang membisu, yang tak mampu menyampaikan apa-apa, walau telah menjadi saksi atas keberlangsungan stasiun itu dari zaman belanda. Tak ada yang saling peduli, wajah – wajah sayu, tubuh lunglai, muka layu, bahkan untuk bertegur sapa sekalipun. Kata-kata tercekat ditenggorokan, pokok bahasan juga kering. Semua gosip, fitnah, ghibah di infotainment diberbagai layar televisi sudah habis dihambur – hambur tanpa harga. Fitnah, ghibah dosa besar difatwakan ulama mejadi haram menontonnya, tapi orang – orang asyik aja mengobrolkannya. sampai – sampai seorang perempuan muda hendak bertengkar dengan seoarang ibu kawan sebelahnya, hanya karena beda pendapat bahwa artis idolanya jadi bercerai dengan suaminya atau tidak. Mereka obrolkan tentang hak – hak perempuan yang semakin menguat, atau tentang lelaki yang sudah bisa dikawini atau dicerai semau perempuan. “Ini hak tubuh”, kata perempuan itu. “setiap pemiliknya berhak untuk membingkisnya untuk siapa saja yang ia mau”, tandas perempuan yang rambutnya dicat kemerah-merahan. Orang menyebutnya dengan bucheri, mirip merek sepatu, sebagai sindiran pada orang yang latah berambut warna pirang persis londo. bule ngecat sendiri. Mungkin inilah resiko kenikmatan dijajah oleh negeri eropa, seakan –akan semua yang berbau eropa dan atau amerika menjadi kebanggaan, trend, perhatian penuh pujian. Kepada bangsa eropa amerika lah, semua nilai ditumpukkan. Hidung mancung lebih cakep dari pesek seperti kebanyakan turunan astronesia, atau bangir yang menjadi impian raja- raja tanah jawa. Kulit putih adalah warna dambaan, kulit hitam sedikit dihormati dengan embel katakata ‘tapi’, ‘meskipun’, ‘walaupun begitu’ dan lain sebagainya, biar hitam tapi.., meskipu hitam dia.. , walaupun begitu dia... Kulit sawo matang seperti kebanyakan kulit kita adalah kulit yang tidak elok, anggapan kulit kuning tidak seindah dulu, walau hampir semua putri – putri raja digambarkan berkulit kuning langsat. Kulit putih menjadi harapan semua kita, seolah – olah berkulit putih adalah cantik, jelita, dan menjadi dambaan semua wanita. Pabrik – pabrik berlomba – lomba membuat bedak pemutih, sabun pemutih, cream pemutih, pelindung kulit, bedah plastik dlsb. Iklan –iklan ditelevisi menggambarkan kulit putih sebagai kecantikan bagai dewi – dewi surgawi atau bidadari yang dari langit. Produk – produk impor dari luarnegeri berhamburan di mall yang megah it. Semakin mahal harga semakin baik mutunya. Barang tidak lagi dilihat dari kemanfaatannya, tapi lebih pada bangun imaginya di televisi, poster, baliho, giant banner yang konon bayar pajak mahal itu. Maka lihatlah, wanita yang menarik adalah yang berkulit putih, berhidung mancung, bermuka oval, dan berambut pirang. Kita adalah bagian dari wargadunia yang selalu mengagungkan kakak tertua, suku bangsa arya atau eropa lainnya sebagai sulung dari peradaban. Didukung oleh penguasaan mereka pada senjata, modal, polilitik dan akhirnya juga peradaban. Ukuran nilai baik – buruk tidak lagi mengacu pada agama dan ayat- ayat Tuhan, tapi lebih tergantung pada produk yang dipakai oleh bintang film terkenal “inilah makna kemerdekaan. Setiap perempuan berhak merasakan keindahan citarasa sesuai dengan hasratnya”, katanya menyerocos. “ oh, tidak bisa begitu”, kata ibu sebelahnya, kita sebagai bangsa indonesia yang punya tatakrama, sopan santun dan nilai – nilai luhur, wanita indonesia tidak bisa begitu”. Sanggahnya.”wanita itu haruslah menjadi pedamping setia bagi suaminya, kemuliaan perempuan ada pada ridho suaminya”, tandasnya pula.Mungkin wanita ini punya dasar agama. Dari kutipan kata-katanya nampak sepeti pernah nyantri dipondok pesantren salafiyah, atau paling tidak ikut pengajian didesanya. “oh anda sudah kolot sekali, ibu”, sanggah perempuan itu. “sekarang sudah zaman supermodern, zaman canggih, zaman global, perempuan harus menempatkan dirinya sesuai dengan harkat yang sudah diatur oleh deklarasi Hak Azasi Manusia, paham!”, “ya, tapi kita harus memperhatikan leluhur kita bu”, katanya mengeras.” Ah,ibu ini benar- benar udik!”. Beberapa detik berikutnya, mereka terdiam, seraya mencemburutkan muka, sinis terasa, seolah pendapat masing – masing saling berlawanan, bertentangan, dan untuk itu tidak ada gunanya lagi menyapa, bahkan untuk saling menatap wajah. Suasana menjadi kering kerontang, tapi untuk berpindah tempat stasium itu sudah sangat padat, bergeser pantatpun teringsut- ingsut. Dipojok lannya beberapa orang telah selesai berdebat tentang nasib negara yang tidak kunjung sejahtera, ada yang menyalahkan konsep negara, ada yang menyalahkan pemerintah yang sedang berkuasa, ada juga yang juga menyalahkan birokrasi, korupsi, dan seorang lagi menyalahkan masalah peradaban yang saat ini menggejala. Yang menyalahkan konsep negara bilang bahwa negara ini miskin karena kita salah mengambil konsep ideologi ekonomi yang juntrung kepada kapitalisme, sebuah ideologi yang menekankan pada kekuatan modal sebagai arusutama kehidupan dan pasarbebas sebagai anak kandungnya. Seolah – olah bahwa negara ini harus dibangun dengan duit. Tanpa duit tidak ada lagi kehidupan, semua akan mati. Duit nyaris didewa-dewakan sebagai penyelamat dan pelindung seluruh sisi kemasyarakatan. “ inilah masalahnya”, kata anak muda itu, “ kita menganut sebuah ideologi yang tidak maching dengan bangsa ini”, “kita memang malas merumuskan ideologi bangsa, begitu ada konsep bagus dari para pendiri bangsa, eh, kita malah buang di tong sampah”. Bangsa ini nyaris tanpa sejarah, tanpa pembelajaran, tanpa pencatatan, tanpa pemaknaan. Disudut lain, negara ini begitu tega pada warganya, terkadang terkesan begitu kejam. Rakyat digusur- gusur dari lahan usahanya, diusir usir dari lapaknya padahal sudah bayar pada pihak kelurahan, tramtib kadang terlalu menyakitkan hati. Tanah rakyat diambil tanpa gantirugi hanya untuk membangun bandara atau sarana bagi pengusaha –pengusaha besar atau kaum perlente yang berdasi dialam tropis dan sesekali meludah kalo kita bertemu dengannya. Sawah –sawah terpaksa diurug untuk membuat perumahan bagi para priyayi yang sering sombong dihadapan orang-orang miskin.” Sial!, pada siapa sich sebenarnya pembangunan ini berpihak!” Dengan ideologi yang cendrung kapitalistik, imperialistik dan neoliberal. Para pejabat kita, jika disimak dari pidatonya dimedia massa, ia tetap berideologi pancasila, tapi pada prakteknya tetap mengutamakan kapital sebagai hal yang paling perkasa.” Busyet dech’, kita ini benar – benar ditipu oleh para tokoh bangsa ini. Yang selalu mengajarkan kesederhanaan ternyata menghambur-hamburka n duit negara. Dana seremoni dibuat gede – gede, sedangkan anggaran untuk pemberdayaan petani, pedagang kecil, bantuan mesin untuk nelayan dibuat icrit – icrit. Irit banget, seakan – akan uang itu punya mbahnya saja.Mereka berlagak seolah – olah ber-ideologi pancasila, eh , nyatanya mirip mirip kapitalis, gimana nich!”. Globalisasi sedang membuka pintu lebar –lebar agar para kapitalis bisa jualan apa saja, dimana saja, dan dengan cara apa aja, melindas pedagang eceran –eceran kita. Menyisihkan hasil pertanian kita yang cuma dianggap sebagai produk klas tiga, Apel, pir, durian, sayur-sayuran impor adalah number one, nomer satu; paling baik, paling higeinis, harga bersaing dan stock terjaga. Kita juga dijajakan untuk membeli ikan yang dicuri dari lautan kita, dikemas dengan merk asing. “asem!” Mereka hanya menguntungkan diri mereka dengan pencitraan yang melecehkan bangsa. Celakanya, kita dengan bangga hati nongkrong di mall dan supermarket, membanggakan produk mereka. Ngeceng dengan utangan, gaji sebulan yang bisa habis Cuma dalam tempo 2 jam saja. “Cuih, Gak sudi aku!”, Kapitalisme juga menjadi mencoleng hatinurani kita, dia menjadi penunggang gelap ketulusan kita dalam asmara Cinta yang tulus dan murni, berkah dari Yang Maha Kuasa, telah dinodai dengan keharusan membeli produk tertentu yang belum tentu dibutuhkan. Membuai dengan produk – produk yang menterlenakan dari kesadaran kebutuhan kontekstual bangsa ini. Lagu- lagu cinta, bukan hanya membuat kita lebih memahami keindahannya, tapi mengharuskan kita mengikuti cara berperasaan mereka; sentimentil, cengeng, gampang patah hati. Hidup tiada makna tanpa asmara, ‘’hampa terasa diriku tanpa dirimu’ . Padahal bangsa ini punya tata cara ekpresi asmara yang beretika tinggi. Santun dan penuh makna. Yang lebih nyebelin, kalo kita cari kerja dinegeri orang, kita dianggap sebagai TKI, kalo yang perempuan di sebut TKW, dianggap budak belian, dan bahkan posisinya lebih menyedihkan dari manusia pada umumnya. Giliran mereka yang numpang kerja di indonesia, mereka disebut ekspatriat, menjadi warga kelas utama dinegeri ini. Perusahaan – perusahaan besar dari negeri asing yang hendak mencengkram rakyat dan menguras sumberdaya alam dianggap sebagai seorang hero dan patriot sejati. Mereka diberi gelar investor yang dibangga-banggakan oleh semua pihak, disambut kepala dinas, bupati, walikota, gubernur bahkan menteri. Bagaimana mungkin para penguras sumberdaya alam kita, yang merusak lingkungan dielu – elu bak pahlawan. Padahal mereka membayar murah buruh – buruh dari bangsa indonesia seraya membayar mahal pekerja dari berwarna kulit asing, padahal pekerjaan dan tugasnya sama. “ Gila ga!”. Inilah akibat ideologi kapitalisme dalam pembenaran globalisasi. Diiming – iming oleh kata – kata itu, kita dijadikan buruh dinegeri sendiri. Bupati,walikota, gubernur yang kita pilih dengan gigih dan berdarah – darah akhirnya harus takluk dibawah duli bahwa negeri ini butuh investor! Mereka yang waktu kampanye teriak – teriak hendak mengayomi kita, ternyata telah terjerumus kedalam mesin kepentingan bangsa lain. Tiada lagi swadesi, bertopang kemampuan kita sendiri. Swasembada, menyediakan kebutuhan oleh dan untuk bangsa kita sendiri. Swakarya, berkarya oleh dan untuk diri bangsa kita sendiri, Swadaya, mengutamakan kemampuan diri kita sendiri. Swadesi, swasembada, swakarya, swadaya, sudah tidak dipakai lagi oleh bangsa yang tercerabut hanya sebuah kata pemusnah: Globalisasi! Seorang lagi yang nampak sebagai manusia sekolahan, entah dosen, entah mahasiswa perguruan tinggi, dengan wajah bersih berkacamata minus mungkin orang ini adalah kaum terpelajar. “ Bangsa ini rusak karena korupsi”,. celetuknya, dengan berusaha untuk meyakinkan. “ korupsi telah merajalela dimana – mana, bukan hanya diproyek – proyek tetapi sudah mengakar pada seluruh urat nadi pemerintahan kita”, lanjutnya. Coba bayangkan, korupsi sekarang menyelimuti seluruh aparatur bangsa kita, bahkan kantor pemerintah yang menjaga moral pun sekarang sudah dipenuhi oleh para korupstor. Bagaimana negara ini tidak hancur kalo korupsi menjalar dimana-mana; diperadilan kita, di pemerintah tingkat pusat hingga desa – desa. Bagaimana kita bisa menjadi peserta globalisasi kalo bangsa ini digerogoti oleh korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hanya kita disibukan untuk membasminya. Sementara orang sudah berlari kencang menata infrastuktur, melestarikan sumbedaya alam dan lingkungannya, serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya , kita masih saja sibuk dengan pemantauan korupsi. Alih alih komite –komite anti korupsi, salah salahbisa terjerumus juga menjadi pemeras. Biro demostransi bayaran,yang menyediakan demo paket hemat, 20 orang 1 spanduk, paket biasa, 50 orang 3 spanduk, paket istimewa, 150 orang 5 spanduk bonus ikat kepala (?) Korupsi terbukti tidak hanya telah merugikan bangsa ini, tapi merepotkan kita, menghabiskan energi. Jadilah kita bangsa yang lebih sibuk untuk hal-hal seperti itu. Bangkrut kita ! Melihat peta korupsi saat ini, ada kekhawatiran yang sangat dalam untuk menyongsong era globalisasi. Kita gak siap sama sekali! Jangan – jangan justru kita dirugikan, hanya dijadikan pasar tempat berjualan. Karena korupsi, kita tidak pernah sanggup bersaing dengan bangsa lain. Daya kompetisi dan komparasi kita minus! Padahal akar korupsi ya itu tadi, karena kita terlalu memberikan kehormatan yang berlebihan kepada orang – orang.yang punya duit dan harta yang banyak. Seakan – akan kemuliaan itu lahir karena orang punya mobil bagus, pakaian mahal, punya rumah besar dan lain sebagainya. Ada yang tersesat dari alamat kemuliaan yang selama ini kita banggakan, seakan – akan orang kaya lebih terhormat dari kaum lainnya, Orang yang hidup bermewah-mewahan disanjung – sanjung ketimbang hidup yang sederhana dan bersahaja. Ketika menjadi orang kaya dan bermewah – mewahan itu dianggap sebagai lambang keberhasilan dan kemuliaan, jadinya, mau tak mau orang berlomba – lomba pingin kayaraya dan bermewah-mewahan. Kalo kita kaya, maka tetangga- tetangga dan kolega akan siap selalu tersenyum, ramah, dan penuh keakraban. Siapa yang ndak pingin kaya, hayo! Namun karena tidak semua dapat mencapainya dengan cara halal, tidak juga semua bisa mendapatkannnya karena pembagian warisan, banyak orang memaksakan diri. Yang sebiasanya cukup maem dirumah, akan terasa lebih gaya kalo direstoran, paling kurang di fastfood-lah, pakaian harus bermerek luarnegeri. Sebenarnya apa yang tengah terjadi, korupsi terjadi dimana-mana. “ini benar – benar kecelakaan besar”, tandasnya ”Ya Benar!”,kata seorang yang berpenampilan esentrik, mungkin seniman, mungkin juga tidak. Tapi kalo dilihat dari kumalnya, rambutnya yang jarang disisir, anggap saja seniman, walo kita tak pernah tahu karyanya dimana. “ini memang masalah peradaban bangsa!”, katanya meyakinkan, kita tidak pernah punya kebijakan khusus tentang politik kebudayaan dan strategi peradaban nasional. Karakter bangsa ini telah gagal dirumuskan. Nilai kegotongroyongan sudah punah, sikap saling tolong menolong sudah terkikis. Sekarang masanya sudah nafsi – nafsi, SDM alias selamatkan diri masing –masing. Mana ada lagi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan keseharian kita. Kita tidak punya lagi orang yang mau jadi contoh dari sikap pancasila sejati. Tidak ada lagi tauladan!, tandasnya. Televisi, radio, koran, majalah cuma dipenuhi omongkosong.“saya khawatir kita kelak kehilangan jatidir bangsa. Kita tak lagi menemukan keindahan sikap orang indonesia murni, kecuali dipedesaan yang tak tersentuh teknologi apapun. Negeri ini bisa bisa musnah karena tidak punya lagi peradaban, atau dimusnahkan oleh globalisasi”. Katanya penuh semangat. “ Negeri ini dipenui dengan anak – anak muda yang pemalas, tidak disiplin, kebarat-baratan” katanya dengan penuh sesal. “ saya khawatir generasi muda kita ogah belajar, jijik pada pengetahuan, benci pada kesenian dan gak doyan sastra”, sungutnya. Sementara matahari sudah semakin meninggi, sengatannya mengigit pori-pori kulit legam lelaki itu, suasana stasiun sudah menyanyat, airliur sudah mengering, mereka yang menunggu dari subuh sampai saat ini belum diberangkatkan juga. “Qua-Qua”, “ koran – koran, “ “ rokok-rokok”, “ sayang anak – sayang anak”, teriak para dagang air mineral, rokok, dan koran, mainan anak - anak bolak – balik, tapi sudah tidak ada lagi yang bergairah untuk membelinya. Semua energi habis untuk menyulam harapan yang tak tergapai. Inikah potret sebuah bangsa yang terus menanti. The waiting nation. Tiba- tiba saja, seperti halilintar yang menyambar, pihak kepala stasiun ngomong di corong stasiun, semua terhenyak, semua masygul, semua lemas tak berdaya, “kami atas nama pihak perusahaan, mohon maaf, kereta tidak bisa diberangkatkan karena kesalahan teknis yang belum pernah kami ketahui sebelumnya”. Ada kecelakaan disebuah kota kecil, komite kecelakaan belum datang, mayat mayat orang miskin bergeletakan tanpa perhatian, kereta lain masih didok stasiun – stasium besar, kita tidak bisa bergerak kemana pun juga, tidak kemasa depan, tidak pula kedesa – desa. Semua bubar sambil terdiam, menyisakan dendam kesumat dari topik yang dibahas berbusa –busa. lelaki itu termangu sendirian, distasiun yang berdebu, sampah yang berserakan, sampah peradaban, sampah dari kesiapan untuk menghadapi pertarungan antar negara, sementara ditelevisi terdengar kita masih berkelahi antar kampung, sampai mati pula.. Telah lahir patriot baru yang telah membunuh saudaranya sendiri! “Qua- qua, mizon – mizon” sayup suara, bersama senja, tenggelam..

Tidak ada komentar: