Jumat, 08 Mei 2015

Peradaban Tinggi dan Rendah

Kadang kita sulit sekali, membedakan ciri-ciri peradaban yang tinggi dan rendah.Namun amerika telah menyediakan jawabannya secara rasialis. Para kulit putih diberikan kesempatan untuk mendapatkan posisi dalam peradaban tinggi, sedangkan untuk kulit hitam dan berwarna diberikan kesempatan pada peradaban rendah. Lantas, yang diterjemahkan peradaban tinggi itu yakni pada ranah Pengetahuan dan Strategi Kebangsaan, dan yang diterjemahkan sebagai peradaban rendah itu yakni Olahraga dan kesenian. Para kulit hitam, dihambat sedemikian rupa sehingga untuk dapat menyentuh pendidikan tinggi, dan jabatan-jabatan strategis dalam kemiliteran, intelegensia dan persoalan internasional. Sedangkan kaum kulit putih didorong agar terus memperdalam ilmu pengetahuan dan persoalan kebangsaan secara lebih utuh dan komprehensif. Bahwa ada sesekali, profesor berkulit hitam, jenderal berkulit hitam atau seperti juga Obama Presiden berkulit hitam. Hal itu, tidak mulus sama sekali. Tantangan rasial yang dihadapinya tidaklah kecil dan tidaklah mudah untuk dilintasinya. Hanya dengan sebuah penjaminan dan pressuer tertentu hingga Obama, Jenderal Colin Powel adalah sedikit dari mereka yang lolos dari jebatan yang superbanyak di negeri itu. Sesuatu yang hendak saya sampaikan adalah hentikan untuk terlalu bangga pada olahraga dan kesenian, karena disisi lain itu hanya menunjukkan betapa rendahnya tingkat peradaban suatu bangsa. Atau cobalah, kita susuri jejak Freemansonry dalam karya bhaktinya di Indonesia. Gerakan inilah yang mensponsori hampir seluruh event kesenian, olahraga dan philantrophy ( kedermawanan). Sesuatu kegiatan yang sangat mulia disatu sisi, namun sekaligus menunjukkan tingkat kemampuan berbuat baik yang naif dan dungu. Pada tingkat elite, Freemansonry hanya mengorientasikan diri pada 5 ( lima ) pokok saja, yakni : Penguasaan sumberdaya mineral, Kepemimpinan ( leadership), konstitusi ( sistem hukum) perdaganngan ( trade), dan Keuangan ( finance). Diluar itu, dilepas sebebas-bebasnya, bahkan untuk kesenian, olahraga dan philantrophy dijadikan suatu kamuflase kemuliaan. Celakanya, para importir agama-agama dengan nafsu rendah itu, menyerahkan menjadi antek-antek freemansonry dalam berbagai keterbatasan hidupnya. Jadilah bangsa ini, menjadi kumpulan orang-orang yang miopik ( rabun jauh), rawan konflik horisontal dan berselera rendah pula. Pada tingkat akutnya, negeri yang subur ini penuh dengan hutang, perang saudara, kebencian antar suku dan eksploitasi seksual yang berlebih-lebihan. Sungguh, ada pentingya kita menyadari bahwa estetika itu telah dihancurkan nilai substantif-nya di hadapan mereka yang pelupa, enggan belajar sejarah, dan malas menyusuri jejak makna, mungkin saja begitu. Mekongga kolaka sultra, 27 April 2015

Tidak ada komentar: