Senin, 03 Mei 2010

Balada Seorang Kesatria

Diperkosa waktu, dijajah rembulan, ataukah rindu yang terkapar di tebing-tebing pengharapan. Aku temukan kau seolah merana berjalan sebatangkara meniti jembatan kecil dari kayu asam yang bergurat-gurat semacam nasib manusia yang berkerumun untuk hidup atau mati, memilih untuk melanjutkan sukacita atau stop! ini sabana makna yang harus kau kunyah setiap batang-batang ilalangnya, atau suara berderu dari kuda-kuda yg mengejar musuh-musuhnya tanpa ampun. Ada nila diujung-ujung tombakmu, menembus tubuh-tubuhnya yg dikodratkan untuk kalah atau ditakdirkan menjadi pecundang atas pertarungan penuh kuasa, gelaktawa, secawan anggur yg gilir bergilir seolah darah, atau nanar dari jeritan yang telah kau dengar sebagai nyanyian. Nyanyikanlah, nyanyikanlah lagu itu, menghibur nurani yg lapar akan tafsir luas pandang yang kau anggap sebagai ranah kuasa. Letakkan jemari telunjukmu dipeta, lalu lingkarkan dengan senyum sinis seorang kesatria. Engkaulah bersuara.. bersuara lagi.. entah menangis, entah tertawa, pada tanda bukit yang dapat pantau pasukan-pasukan lawanmu, atau kau khayalkan bila masa damai nanti, kau bangun sebuah villa mewah bersama istri muda, memeluknya seraya mengenang dirimu yang seolah-olah menjadi pahlawan, padahal engkau dorongkan tubuh sahabatmu dimata tombak yg hendak mengoyak tubuhmu. Rindu siapakah yang kau simpan dari bayangan tentang dewi asmara, yg selalu ramah dalam riang dan nestapa. Duhai kesatria yang dielu-elu bersama bendera-bendera sepanjang jalan yang kau lintasi, diantara darah dan dendam yang tersimpan dicatatan anak-anak yang ingin ayahnya pulang dengan sejumput senyuman. Aku tahu ini medan pertarungan, tapi engkau tetap diam.. menikmati wajahmu terpampang gagah dilukisan-lukisan dinding kota..

jakarta, 14 april 2010

Tidak ada komentar: