Jumat, 11 Oktober 2013

Negeri Kedaulatan Perempuan

Banyak orang menyangka, bahwa kekuasaan berawal itu dari kepemilikan tanah dan lahan pertanian yang luas. Ada yang mengganggap dari pedang dan kekerasan, Adapula yang mengganggap dari mata air dan daerah aliran sungai. Ada yang mengganggap pula, kekuasaan itu adalah pelabuhan dan bongkar muat, buruh dan sebarisan orang-orang yang terpaksa patuh. Adajuga yang mengira, kekuasaan dapat diraih oleh uang, tipudaya, dan siasat jahat. Tidak, oh tidak sama sekali. Mandalika mengajarkan kekuasaan yang sesungguhnya, tiadalah dari sesuatu yang diluar dirimu. Kekuasaan itu memancar jernih dari dayabudi, hubungan yang pasti dengan Sang Illahi Robbi dan wajah binar pada tantangan hidup sehari-hari. Kekuasaan itu akarnya kesucian – ketulusan dan keyakinan, batangnya pemahaman yang sempurna pada detail peri-kehidupan, ranting-rantingnya adalah budipekerti, dan daun-daunnya adalah pengabdian senyatanya pada duka gelisah rakyat semesta. Oh, mandalika tiadalah berpunya apa-apa. Ia hanya seorang perempuan yang mampu menuntaskan gelsiahnya dalam pencapaian yang agung. Menemukan hakekat diri pada Hasta-bratha. Menemukan nilai hakekat cinta sampai padang-nya tandus, tebing yang terjal, atau ombak-ombak yang menghantam dinding karang. Wajah rupawan bukanlah jaminan. Dada membusung bertepuk, bukanlah pujaan. Pedang menghunus lapar bukanlah anggapan. Cinta bagi Mandalika, adalah putik putik sari di bunga di taman yang terindah. Taman dijiwamu. Ditaman yang didalamnya tumbuh delapan jenis bunga. Bunga pertama, adalah kemampuan menjaga kesucian sepanjang hayat, selalu dalam wudhu atau sikap yang suci tanpa rebah pada nafsu duniawi. Bunga kedua, selalu menjaga keterhungan dengan sesame manusia dalam silaturahim yang penuh sabar dan kerelaan, selalu menjaga keterhungan dengan sang Pencipta yang tiada terputus, dzikirullah yang membumbung arsy illahi robbi. Bunga ketiga, selalu dalam keberbagian, bila ada rejeki berbagi yang miskin papa, bila ada ilmu berbagi pada yang meminta. Bila ada kesempatan, berbagi pada yang kesempitan. Bila ada pituah berbagi pada yang resah. Bunga keempat, selalu menjaga amanah tubuh. Merawat puasa agar sehat senantiasa. Merawat gizi agar tiada merasuk kedalam raga. Merawat kebersihan agar diri segar dihadapan. Merawat panca indera agar beperan sepatutnya. Bunga kelima, selalu merawat ibadah kehadirat illahi. Sholat wajib tak tertanggalkan, Sholat sunnah menyempurnakan. Sholat jamaah memberikan kekuataan. Bunga keenam, selalu merawat kesemestaan diri. Menyampakan salam pada seluruh alam semesta. Mengirimkan ummul kitab pada seluruh leluhur dan para pejuang bangsa. Membacakan shalawat ke hadapan Rasullulalh Jujungan Ummat. Membacakan pujian kehadirat illahi dalam segala ketulusan. Isaq tangis kerinduan yang terdalam pada Sang Maha Pencipta. Meratap pasrah pada Sang Maha Cinta. Melantunkan Asmaul Husna dalam pujian yang penuh kesadaran akan penyerahan jiwa raga pada Sang Maha Suci dan Maha Tinggi. Menyampaikan doa pada kebajikan manusia, memohonkan titan dari segala keluh penderitaan insani. Bunga ketujuh, selalu membaca makna-makna kehidupan. Memahami setiap detail gerak alam. Mengerti segala sifat dan sikap manusia. Mengaji firman illahi dalam setiap ruang dan waktu. Menatap wajah Tuhan pada setiap peristiwa. Mengkaji seluruh ayat-ayat Allah dalam setiap lekuk gerak peradaban sepanjang masa, menelusuri fakta-fakta hinga tetes makna yang terakhir, ditubir jurang yang paling paradoksal. Bunga kedelapan, mekar mewangi setiap insani adalah adab, bahasa dan semiotika Adab adalah kesantunan gerak tubuh atau gestur, tertip tapsila, titi-krama. Bahasa adalah cermin bangsa, pribadi yang bercahaya. Bahasa yang baik, indah, dan komunikatif, adalah tanda keluhuran budi. Semiotika sebagai Penanda-petanda , langue farole, sintagmatik – paradigmatic, diakronis – sinkronis. Pewacan manis, tindih ring tititata tertip tapsila. Delapan jenis bunga itulah, yang menjadi syarat bagi cinta, kasihsayang dan titian menuju Hasta-bratha. Delapan matra kepemimpinan perempuan. Kesemuanya meniti jalan menuju “kekuasan yang sejati”, bukan ekploitasi manusia atas manusia lain, “exploitation de l’home par l’home”, suatu ungkapan yang sering pula diungkapkan oleh Presiden Indonesia, Soekarno, juga juga sangat mengagumi perempuan dari akar-pemahamannya yang paling hakiki. Kesemuanya itu, tumbuh bersemi di Pulau Lombok, dibentangan tengah segaris maya yang membelah bumi. Disitulah Paku-alamm pasek gumi yang sesungguhnya. Dijaga oleh Dua Orang Perempuan agung, yang memiliki kedaulatan penuh dalam cipta rasa karsa bagi seluruh jiwa yang berada dipusarannya. Bukan karena tanah, pedang dan kekerasan. Namun jauh lebih tinggi dari Pegunungan Rinjani, jauh lebih luas dari samudra hindia. Jauh lebih tenang dari rembulan yang tersenyum di pantai selatan seger kuta. Namun, ia dekat, sedekat medan kesadaran kita semua untuk memahaminya.. Padepokan gde pharne, 07 oktober 2013 Shri lalu gde pharmanegara parman

Tidak ada komentar: