Jumat, 11 Oktober 2013

Bila saja, tak bila jua

Bila orang tahu, betapa damainya setiap orang dalam kesucian, maka pastilah akan ia akan selalu menjaga wudhu-nya sekaligus merawat kemaknaan kesucian itu seutuhnya. Bila orang tahu, betapa bahagianya dalam nama-NYA, maka pastilah orang tak akan lepas dari menyebut nama-NYA jua. Bila orang tahu, betapa mulianya berbagi, maka pastilah setiap orang akan membagikan seluruh harta dan ilmunya untuk semua orang yang membutuhkannya. Bila orang tahu. betapa cerahnya menahan diri, maka pastilah setiap orang akan berpuasa setiap harinya. Bila orang tahu, betapa indahnya menyembah Sang Maha Pencipta, maka pastilah setiap orang akan shalat diseluruh waktunya. Bila orang tahu, betapa akrabnya kesemestaan, maka pastilah setiap orang akan selalu saling mendoakan, membaca shalawat dan menabur kebajikan. Bila orang tahu, betapa luasnya pengetahuan, maka pastilah setiap orang akan selalu membaca kitab suci dengan tekun dan penuh khidmat. Bila orang tahu, betapa manisnya kesantunan, maka pastialh setiap orang akan selalu menjaga lisannya dengan kata-kata yang terpilih, menjaga indera dan tubuhnya selaras alam. Bila saja, tak bila jua.. Padepokan Gde Pharne, oktober 2013

Konsep ADAT

“ADAT adalah KELUHURAN NISCAYA yang bekerja secara imanen, transenden, dan semiologis membentuk konsep kosmologi, filosofi, episteme, geneologi, ideologis yang melekat pada tubuh keseharian masyarakat perawat pelestarinya, yang diwujudkan dalam bentuk penghargaan dan ritual pada daur hidup ( lahir- dewasa – kawin – jumeneng- kepaten), pemahaman kesemestaan alam, usungan nilai-nilai agung, spiritualitas praktis, manifestasi pola-pola kearifan, pemaknaan, petanda penanda, pengetahuan local, folklore, penguasaan sumberdaya genetic, patrap, pembelajaran, kepatutan, refleksi atas tantangan perikehidupan masing-masing, dan dayajawab terhadap segala pertanyaan.” Namun ternyata, konsep itu harus diperiksa dengan uji konsistensi ( kesetiaan pada pola berpikir), Koherensi ( keterkaitan antar unsur dan komponen logis), Komprehensi ( keutuhan dalam membentuk bangunan berfikir), Self- Explaination ( kemampuannya untuk menjelaskan dirinya sendiri), Sistematika (memiliki anatomy dan kerangka logis yang jelas), dan Intrapolatif – Extrapolatif ( memiliki daya untuk daya untuk mengisi dirinya sendiri, yang sekaligus daya untuk dikembangkan secara generic).

Guru Rindu Sejati

Wong Agung Jayeng Rana disebut juga Wong Agung Menak, Bagenda Ambyah atau Amir Hamzah atau Amir Mukminin, Jayadimurti, Jeyengjurit dan sebagai prajurit Allah dan memiliki kuda untuk tugas penyebaran agama Islam yang disebut Sekardiu. Dalam permenungannya, Wong Ageng Jayengrane mulai menyadari bahwa hidup adalah pencarian yang terus menerus bekerja dikedalaman, menjadi patisari dari setiap denyutnadi, setiap aliran darah, setiap lapis demi lapis kuit ari kita, setiap bungkus demi bungkus nurani kita. Sementara disisi yang lain.. Dewi Anjani, menyimpannya dalam cupumanik demi generasi terbaik yang akan lahir di bumi pusat peradaban dunia. Cupumanik adalah metafora dari sifat asali manusia. Hanoman dan kera-kera putih rinjani yang melapangkan jalan menuju pencerahan dipuncaknya yang tertinggi. Cawan dari segala kebajikan atas amanah kekhalifahan di hamparan bumi. Delapan ruas sang cawan kemuliaan, adalah “daya sarwa buthesu” - belas kasih kepada sekalian makhluk, “ksatim” - suka memaafkan dalam rindangnya kesabaran, “anasunyah” - tiadalah mudah kecewa dan menyesal,” saucam” - suci jiwa dan raganya, “anayasah” – selalu menjaga kerendah-hatian atau menggunakan tenaga yang berlebihan, “manggalam” – selalu merawat itikad nan penuh kebajikan dan maslahat, “akarpanyah” – tiada pernah merasa nestapa, miskin dalam jiwa, rautmuka maupun sikap hidupnya yang budi bersemai tumbuh mekar mewangi, “asperabah” – tiada nafsu yang berlebih-lebih pada kenikmatan yang sementara didunia belaka. Kera-kera putih mengisyaratkan agar kita tak terlena pada penampakan di mata belaka, menggali kedalaman makna jauh di substansi yang bercahaya. Cupumanik Astaghina, yang menjadi damba setiap jiwa yang terpilih menjadi Rinjani sebagai pegunungan segala rindu, amsal dari segala pencapaian ruhani yang agung, menuju arsy illahi Robbi. Putri Mandalika, menyimpan segala makna cinta, mengajarkan arti yang terdalam dari kesungguhan penyatuan diri, cinta, keindahan dan pengorbanan. Cinta bagi mandalika adalah kijang-kijang emas yang dirindukannya. Ia adalah persemaian budi yang kini melekat dijiwa –jiwa perbangsa, di rat sasak yang abadi, di pemban kesejatian yang hakiki. Bagai Sang Surya, setiap jiwa hendaklah memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan untuk mengembangkan daya hidup rakyat demi membangun bangsa. Itulah Matahari dari setiap takik-taki k peradaban insani. Bagai Candra, setiap jiwa memancarkan sinar rembulan ditengah kegelapan malam. Setiap jiwa hendaklah mampu memberi semangat kepada rakyat ditengah suka dan duka. Bagai bintang –bintang, bersinar kemilauan ditempat yang tinggi hingga menjadi pedoman arah. Setiap jiwa hendaklah menjadi suri tauludan dalam akalbudi dan pustaka. Menjadi titian bagi kecerdasan yang menjawab segala pertanyaan, melapangkan segala kesempitan, mengobati segala luka, memuliakan segala yang nista. Membangun segala yang runtuh. Bagai Angkasa, Dirgantara yang luas tak berbatas. Setiap jiwa hendaklah mampu menampung apa saja yang datang padanya. Setiap jiwa adalah ketulusan bathin dan kemampuannya mengenalikan diri dalam berbagai aspirasi, ekspresi dan beragamnya karakter insani. Bagai Maruta, angin yang selalu jujur pada ruang dan waktu. Setiap jiwa adalah haruslah bagian tak terpisahkan dari degub nadi penderitaan saudaranya. Tiadalah beda setiap wadag bagi cinta yang agung. Adakah setiap jiwamu menyimpan cinta bagi kemanusiaan, bagi mereka yang kalah, tersingkirakan, tersisih, dan nestapa. Adakah tanganmu menjadi selendang yang menyeka airmata menjadi sumringah senyum bahagia ? Bagai Samudra, Setiap jiwa hendaklah selalu menawarkan kasih sayang yang luas membiru. Kasih sayang yang merupakan tetes kasih sayang Illahi Robbi, Tuhan Penguasa Alam semesta. Bagai Dahana, api yang membakar segala ketersesatan. Setiap jiwa hendaklah berani menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Pantang mundur pada tantangan zaman. Menghunus keris melawan kebodohan, dan mengepal tangan melawan penindasan, walau dilakukan oleh beribu-ribu kekuatan sekalipun jua. Dan bagai bhumi, setiap jiwa hendaklah rendah hati, memberi manfat pada siapapun yang berharap padanya. Memberi buah yang ranum pada setiap kerja-kerja yang nyata pada nafas kehidupan. Tiadalah bhumi akan mengecewakan hatimu, bila engkau jujur padanya. Tiadalah bencana kan tiba bila tiada maksud Tuhan yang bersirat indah dalam setiap getarnya. Bhumi dalam jiwamu adalah bentuk terbesar dari bumi yang ada di kaki kita semua. Karena bhumi dalam jiwa, adalah roh illahi yang ditiupkan lewat Ruh Adam, dan cahaya, bagi mereka yang merindu, adalah cahaya binar dari keindahan akhlaq dan kepemimpinan Rasullullah SAW dan para nabi-nabi. Duhai pangeran perkasa, pada hasta-bratha itulah kesejatian dirimu, kata putri Mandalika kepada pelamar – pelamarnya yang datang denganraut wajah penuh pura-pura. “Jangan engkau datang karena rayumu penuh luka, wajahmu penuh bopeng ketidakpedulian, tanganmu bersaksi dari niatmu merampas harta rakyat, mulutmu penuh dengan kosakata yang nista, gagahmu hanyalah baying-bayang dari nadirnya keimanan” Hamba inginkan kijang-kijang emas itu sebagai perlambang cinta yang agung, kaki kaki keimanannya adalah daya lompat untuk pulang menuju kesejatian, dan biota laut yang kupersembahkan padamu, sebagai tanda penyatuan seluruh energy semesta alam dan kehidupan. Hasta-bratha dalam jiwamu, dalam sikap lakumu, dalam pikiran dan kecerdasanmu, dalam cita-citamu. Dewi Anjani mengajarkan kita pencapaian illahi dari sikap laku yang indah namun mencapai puncak-puncak pegunungan segala rindu. Putri Mandalika mengajarkan kita pada kesemestaan cinta yang agung, pengorbanan yang tulus, dan keduanya mengajarkan kemauan kita untuk menyatu diri dalam firman-firman-NYA. Maka lahirlah cupu manic, cawan ketinggian budi, bagi siapa saja, yang menempatkan firman –firman Allah SWT, menjadi diri dalam diri-nya sendiri. Membayar tunai pertanyaan; siapakah hamba, dimanakah hamba, mengapakah hamba, bagaimanakah hamba dan hendak kemanakah hamba (?) Biota laut itu hanyalah sebagai permisalan atas kemauan kita luruh dalam alam, menjadi tak terpisah dari denyut harmoni yang selaras budi, memelihara diri sebagai kekhalifahan kita semua. Disini, di tempat yang orang-orang yang sadar akan pentingya kemauan untuk merubah diri menjadi lebih baik, itikad bulat untuk mengenal diri sendiri. Inilah tanah bagi kaum yang mengalami pencerahan, ini tanah lapang bagi yang hijrah, di darul muhajirin. Di gumi tatas tuhu trasna, bumi kecerdasan karena asah pembelajaran, kesungguhan karena keterpanggilan mengabdi, dan cintakasih karena ketulusan. Hamparan makna, yang bertawar padamu, bilakah engkau petik setangkai saja, agar ruangbathinmu semerbak mewangi. Disinilah dua pandangan menyatu, menatap rinjani sebagai ketinggian budipekerti dan kesungguhan dalam ibadah yang tulus dan penuh kebeserah-dirian. Disinilahn pula, kita bisa menatap samudra hindia, lautan luas yang mengantar kelapangan jiwa, tawaran pada pencerahan yang sempurna. Itulah guru rindu yang sejati, adalah ketika jiwamu yang senafas dengan cupu manic astaghina, dan dirimu adalah wujud raya dari Hasta-bratha adalah bekal yang titipkan oleh alam semesta pada jiwa yang berkenan menggapainya. Karena itu, terimalah kebenaran Al Qur’anul Karim, sebagai Guru Rindu Sejati. Yang bekerja indah pada akalbudimu, pada setiap hela nafasmu. Bertanyalah pada dirimu sendiri, dimananah rindumu yang sejati (?) Siapakah Tuhan Yang menciptakan seluruh hidupmu. Bertanyalah dalam kesetianmu pada manik Deside Allah SWT. Dalam Kitabsuci yang menjadi darah dan nadimu. Bertanyalah, dalam sunyimu, dalam kalbumu.. Padepokan gde pharne, 2013 shri lalu gde pharmanegara parman

Negeri Kedaulatan Perempuan

Banyak orang menyangka, bahwa kekuasaan berawal itu dari kepemilikan tanah dan lahan pertanian yang luas. Ada yang mengganggap dari pedang dan kekerasan, Adapula yang mengganggap dari mata air dan daerah aliran sungai. Ada yang mengganggap pula, kekuasaan itu adalah pelabuhan dan bongkar muat, buruh dan sebarisan orang-orang yang terpaksa patuh. Adajuga yang mengira, kekuasaan dapat diraih oleh uang, tipudaya, dan siasat jahat. Tidak, oh tidak sama sekali. Mandalika mengajarkan kekuasaan yang sesungguhnya, tiadalah dari sesuatu yang diluar dirimu. Kekuasaan itu memancar jernih dari dayabudi, hubungan yang pasti dengan Sang Illahi Robbi dan wajah binar pada tantangan hidup sehari-hari. Kekuasaan itu akarnya kesucian – ketulusan dan keyakinan, batangnya pemahaman yang sempurna pada detail peri-kehidupan, ranting-rantingnya adalah budipekerti, dan daun-daunnya adalah pengabdian senyatanya pada duka gelisah rakyat semesta. Oh, mandalika tiadalah berpunya apa-apa. Ia hanya seorang perempuan yang mampu menuntaskan gelsiahnya dalam pencapaian yang agung. Menemukan hakekat diri pada Hasta-bratha. Menemukan nilai hakekat cinta sampai padang-nya tandus, tebing yang terjal, atau ombak-ombak yang menghantam dinding karang. Wajah rupawan bukanlah jaminan. Dada membusung bertepuk, bukanlah pujaan. Pedang menghunus lapar bukanlah anggapan. Cinta bagi Mandalika, adalah putik putik sari di bunga di taman yang terindah. Taman dijiwamu. Ditaman yang didalamnya tumbuh delapan jenis bunga. Bunga pertama, adalah kemampuan menjaga kesucian sepanjang hayat, selalu dalam wudhu atau sikap yang suci tanpa rebah pada nafsu duniawi. Bunga kedua, selalu menjaga keterhungan dengan sesame manusia dalam silaturahim yang penuh sabar dan kerelaan, selalu menjaga keterhungan dengan sang Pencipta yang tiada terputus, dzikirullah yang membumbung arsy illahi robbi. Bunga ketiga, selalu dalam keberbagian, bila ada rejeki berbagi yang miskin papa, bila ada ilmu berbagi pada yang meminta. Bila ada kesempatan, berbagi pada yang kesempitan. Bila ada pituah berbagi pada yang resah. Bunga keempat, selalu menjaga amanah tubuh. Merawat puasa agar sehat senantiasa. Merawat gizi agar tiada merasuk kedalam raga. Merawat kebersihan agar diri segar dihadapan. Merawat panca indera agar beperan sepatutnya. Bunga kelima, selalu merawat ibadah kehadirat illahi. Sholat wajib tak tertanggalkan, Sholat sunnah menyempurnakan. Sholat jamaah memberikan kekuataan. Bunga keenam, selalu merawat kesemestaan diri. Menyampakan salam pada seluruh alam semesta. Mengirimkan ummul kitab pada seluruh leluhur dan para pejuang bangsa. Membacakan shalawat ke hadapan Rasullulalh Jujungan Ummat. Membacakan pujian kehadirat illahi dalam segala ketulusan. Isaq tangis kerinduan yang terdalam pada Sang Maha Pencipta. Meratap pasrah pada Sang Maha Cinta. Melantunkan Asmaul Husna dalam pujian yang penuh kesadaran akan penyerahan jiwa raga pada Sang Maha Suci dan Maha Tinggi. Menyampaikan doa pada kebajikan manusia, memohonkan titan dari segala keluh penderitaan insani. Bunga ketujuh, selalu membaca makna-makna kehidupan. Memahami setiap detail gerak alam. Mengerti segala sifat dan sikap manusia. Mengaji firman illahi dalam setiap ruang dan waktu. Menatap wajah Tuhan pada setiap peristiwa. Mengkaji seluruh ayat-ayat Allah dalam setiap lekuk gerak peradaban sepanjang masa, menelusuri fakta-fakta hinga tetes makna yang terakhir, ditubir jurang yang paling paradoksal. Bunga kedelapan, mekar mewangi setiap insani adalah adab, bahasa dan semiotika Adab adalah kesantunan gerak tubuh atau gestur, tertip tapsila, titi-krama. Bahasa adalah cermin bangsa, pribadi yang bercahaya. Bahasa yang baik, indah, dan komunikatif, adalah tanda keluhuran budi. Semiotika sebagai Penanda-petanda , langue farole, sintagmatik – paradigmatic, diakronis – sinkronis. Pewacan manis, tindih ring tititata tertip tapsila. Delapan jenis bunga itulah, yang menjadi syarat bagi cinta, kasihsayang dan titian menuju Hasta-bratha. Delapan matra kepemimpinan perempuan. Kesemuanya meniti jalan menuju “kekuasan yang sejati”, bukan ekploitasi manusia atas manusia lain, “exploitation de l’home par l’home”, suatu ungkapan yang sering pula diungkapkan oleh Presiden Indonesia, Soekarno, juga juga sangat mengagumi perempuan dari akar-pemahamannya yang paling hakiki. Kesemuanya itu, tumbuh bersemi di Pulau Lombok, dibentangan tengah segaris maya yang membelah bumi. Disitulah Paku-alamm pasek gumi yang sesungguhnya. Dijaga oleh Dua Orang Perempuan agung, yang memiliki kedaulatan penuh dalam cipta rasa karsa bagi seluruh jiwa yang berada dipusarannya. Bukan karena tanah, pedang dan kekerasan. Namun jauh lebih tinggi dari Pegunungan Rinjani, jauh lebih luas dari samudra hindia. Jauh lebih tenang dari rembulan yang tersenyum di pantai selatan seger kuta. Namun, ia dekat, sedekat medan kesadaran kita semua untuk memahaminya.. Padepokan gde pharne, 07 oktober 2013 Shri lalu gde pharmanegara parman