Rabu, 03 Juni 2009

Gagasan Pelestarian Sumber Daya Genetik di Kerajaan dan Kedatuan di Pulau Lombok

Shri Lalu gde pharmanegara, forum keraton ntb

Sebagai bangsa yang dikaruniai alam dan cuaca yang sangat ideal, Indonesia memiliki ribuan bahkan jutaan sumberdaya genetik , dari sabang sampai merauke. Namun sejarah juga mengatakan, bahwa bangsa, saking banyaknya pontensi sumberdaya genetik itu, tidak dapat melindun ginya satu persatu. Kasus Sambiloto dan Brotowali yang dipatenkan di jepang, adalah contoh betapa lemahnya mekanisme pertahanan budaya dalam perlindungan terhadap sumberdaya genetik. Begitu pula klaim bangsa – bangsa lain, pada varietas – varietas lain di Indonesia. Namun, syukurlah upaya paten jepang dapat diselamatkan, walau bukan karena upaya pemerintah belaka, jauh daripada itu juga karena kesadaran bangsa jepang terhadap perlindungan hak sumberdaya genetik itu. Dibalik itu semua, dalam logika gunung es, sesungguhnya begitu banyak persoalan dalam sumberdaya genetik Indonesia, seperti kasus budidaya kayu ebony, pengambilan sampel padi varietas tradisional Indonesia yang dikembangkan dinegeri asing. Lantas dijual dengan harga mahal di bumi Indonesia. Dan celakanya, sebagaian dari kita ada juga menjadi agen-agen dari pembelian itu, dan sebagian lagi menjadi korban dari benih palsu, yang sumberdaya genetisnya diambil dari bumi pertiwi ini.
Mengapa bisa terjadi demikian (?) Setiap kita bisa saja menyalahkan pemerintah Republik Indonesia dengan instansi terkaitnya, tapi sesungguhnya, bila kita berkenan merenungkan sejenak, bukankah ini juga terjadi karena tingkat kepedulian masyarakat pada aspek pelestarian dan perlindungan sumberdaya genetik dan pemahaman kearifan tradisional yang kian terkikis dari masa ke masa.
Peranserta masyarakat, yang secara struktur tradsiional diperwalikan pada para Raja, Sultan, Panembahan, Somba, Kiraha, Karaeng dan atau sebutannya, menjadi sangat penting dan vital dalam upaya menyeluruh untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya genetik secara terkendali. Perlindungan yang didasarkan oleh pemahaman yang utuh dengan skema filosofis local, dengan pola aturan- aturan local pula. Begitu pula pola pelestarian dan pemanfaatan yang selalu menjadi aspek terpadu antar satu nilai dengan nilai lainnya.
Pemanfaataan yang selaras alam, menjaga harmoni dan meniti kesetimbangan hubungan antara; manusia, alam dan Tuhan, merupakan pola yang sangat arif dan agung bagi masyarakat local. Pemahaman falsafah keselerasan ini, menjadi pemahaman kosmologis masyaraka local dalam bentuk dan manifestasi perilakunya sehari –hari. Bahkan, pola pola kesetimbangan itu telah menginternalisasi mindset rakyat demi pelestarian itu. Sebagai contoh, setiap orang akan merasa tidak nyaman bila harus menebang pohon beringin, sebagai mitologi yang mengiringinya, di pohon beringin tersebut ada mahluk yang besar dan sensitive. Maka dari itu, pohon itu seolah dipuja dan dirawat dengan sesajian yang khusus pula. Dibalik itu semua, para pemangku adat hendak menuturkan kepada masyarakat, selanjutnya kita semua, untuk melestariakan sumberdaya air dibawah pohon beringin. Riset Botani, berabad-abad kemudian, menyatakan bahwa ternyata dibawah pohon beringin terdapat simpanan air yang dapat dimanfaatkan oleh masyarkatnya. Bahkan untuk menjaganya, disekitaran pohon itu, dilarang untuk melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Oleh para pemangku adat, diproduksi juga kata “malik” sebagai bentuk dari upaya pelestarian yang luarbiasa. Dengan kata itu, upaya pelestarain menjadi sangat efektif. Diksi “malik” mewakili seluruh semiologis yang melibatkan impresi yang dalam pada upaya itu. Orang bisa merasa berdosa sepanjang hayat bila telah melanggar “malik” itu. Bila seseorang melanggar malik, secara lambat laun ia akan menerima suatu reward yang sudah terdesign dalam system mindset. Hukuman itu, lebih dari sekedar efek jera yang sekarang dikembangkan oleh system hokum positif. Bila terkena hokum positif, orang belum tentu merasa bersalah, karena masih banyak menyisakan perdebatan dalam pemaknaan terhadap kebenaran. Kebenaran dalam kasus perlindungan dan pelestarian sumberdaya genetik berbentur dengan mesin kepentingan eksternal yang sering menggoda suatu komunitas tertentu.
Maka peran dari para Raja, Sultan, Panembahan, somba, datu dan Pemangku Adat menjadi tampuk kebenaran. Matabathin dari seluruh pencapaian hakekat hidup dan kesejatian. Maka dari itu, pada masyarakat tradisional, para Raja, Sultan, Panembahan dan Pemangku adat lainya sangat diprasayaratkan untuk memiliki daya matabathin yang tajam dan peka, dalam menjaga keharmonisan hubugan segitiga, qoriyah thoyibah; Manusia, Tuhan dan Alamnya.
Seorang Raja harus tuntas pemahamannya pada keselarasan alam, kearifan tradisional, dan falsafah kepemimpinan. Bersamaan dengan itu, upaya – upaya semakin meningkatkan kemampuan dibidang keselarasan itu seriring dengan daya tafsir aksiologis dari para pemangkunya dalam menafsir tanda – tanda alam. Seorang Raja, Sultan, Pemangku adat, sangat tahu kondisi kawasannya, sangat merasakan bila terjadi ketidakseimbangan dalam wilayah kuasanya. Termasuk daripadanya sangat peka terhadap gejala-gejala alam, bencana, wabah dan lain sebagainya.
Revitalisasi kerajaan dan keraton Indonesia, bukanlah membangunkan kembali nyinyir anggapan kaum modernis pada feodalisme, namun sejatinya adalah upaya yang terpadu, menyeluruh dan efektif untuk pelestarian lingkungan, penguatan kearifan tradisional, perlindungan sumberdaya genetik local, dan pola pemanfaatan yang berdasar pada ABS ( acsess & benefit sharing).
Upaya pelestarian lingkungan, penguatan kearifan tradisional, perlindungan sumbedaya genetik haruslah dimulai dari jiwa – jiwa yang sudah mencapai titik pemahaman yang utuh dan kokoh pada daya nuraninya. Haruslah diemban oleh jiwa yang sanggup menanggung beban tanggungjawab yang besar sebagai khalifah fil ardh, pemimpin dimuka bumi. Tiadalah mungkin, kita mempercayakan upaya konservasi itu oleh mereka yang penuh kembimbangan, hidup diantara hedonism, dan kebingungan metodologis. Maka dari itulah, para calon putra raja, calon putra mahkota dan calon Sultan selalu dibekali dengan pemahaman yang begitu dalam, ibadah yang kuat, semedi dan pertapaan yang tinggi, kemampuan penguaaan diri, dan karakteristik building yang sangat intens. Upaya ini adalah upaya memasukkan pemahaman yang dalam, makrokosmos pelestarian dalam kalbu sang Raja. Kemampuan itu menjadi penyeimbang dari seluruh petanda dari gejala- gejala alam. _Penguatan yang sangat teguh pada pola peribadi yang meliputi kemampuanya menguasai delapan unsure kehidupan ddidalam dirinya. Konsep makrokosmos dengan 8 unsur itulah, yang menguatkan betapa setiap para pemimpin ini menjadi sesuatu yang sangat khas. Walau sayang sekali, ketika menyerahkan kekuasaan ke republic, para raja, sultan dan datu pada saat itu, belum sempat mengintroduksi pemahaman itu dalam tubuh demokrasi Indonesia.
Untuk mendukung pola makrokosmos itulah, maka disetiap keraton, puri, puro, taman atau nama lain dari kawasan istana, selalu disediakan space untuk bentuk harmoni itu. Disetiap keraton, selalu dipelihara tanaman – tanaman langka, beringin, taman – tanaman hias local, dan varietas obat-obatan, bahan bahan pewarna yang merupakan asili daerahnya. Bahkan, beberapa tanaman tertentu, diberi gelar “kyai” sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap nilai pelestarian terhadap jenis pohon itu. Dibeberapa lokasi lain, pohon beringin dan juga jenis pohon tertentu dimaknakan sebagai kepaduan hati dan keselarasan nurani. Dialun –alun selatan kita bisa saksikan, pohon beringin menjadi saksi kisah cinta yang akan diikrarkan. Di Lombok, pohon beringin, di “loang balok” merupakan saksi dari kesepakatan hati yang bersatu. Pola kerangka fikir, dalam pelestariannya itu telah menginternalisasi jauh dikedalaman menjadi bentuk kesatuan hati bagi cinta dalam keselarasan alam.
Posisi pepohonan tertentu, didalam tradsi inilah yang sering kita sebut sebagai PSDAT ( perlindungan Sumberdaya alam terkait). Posisi cultural suatu jenis varietas tertentu memberikan suatu pola yang sangat khas dalam upaya perlindungan dan pelestaraian sumberdaya genetik.
Di Pulau Lombok, khususnya para Raja, Datu dan Pemangku Adat, selalu memiliki jenis Kayu Sulaeman, yang diyakini sebagai suatu kayu pengejawatahan dari system makrokosmos orang sasak di pulau Lombok. Kayu Sulaeman menempati posisi yang sangat tinggi sangat tinggi sebagai sumber aura, kemampuan penaklukan dan penyatuan jiwa Sang Datu dengan suara alam dan mandat ketuhanan. Kayu Sulaeman adalah manifestasi dari keteguhan, karena diyakini disegani oleh para mahkluk halus, serangga dan pihakpihak yang berniat jahat padanya. Kayu Sulaeman, yang didapatkan dengan cara bertapa di gunung rinjani, sebagai puncak spiritualitas sukubangsa Sasak, merupaka mandate pelestarian yang luarbiasa. Sampai saat ini, kawasan rinjani masih memiliki 400 varietas etnobotani, yang sebagian besar daripadanya memilik terregistrasi dan memiliki nama latin.
Sebagai Raja, Datu, dan Pemangku Adat di gumi sasak, seluruh trahnya memiliki kewajiban moral untuk melestarikan seluruh sumberdaya genetik itu sebagai “anak kandung” dari mandat pewarisannya secara menyeluruh. Seorang Raja, Datu dan Pemangku Adat digumi sasak, bukan saja bertanggung jawab pada nasib manusia sasak hari ini, dan inheren daripadanya sikap kepeduliannya pada persoalan lingkungan dan pelestarian. Tapi juga menjamin seluruh pemanfaatan sumberdaya hayati itu secara baik dan terkendali. Potensi sumberdaya hayati haruslah dikelola sedemikan rupa sehingga, terjamin kelestarian, status pemilikannya dan dayaungkitnya bagi kemartabatan dan kesejahteraan masyarakat local.
Begitu pula, komitmen para Raja, Datu dan Pemangku adatdi bumi lombok pada jenis kayu sentiki ( atau sentigi), yang merupakan kayu yang sangat bermanfaat sebagai anti serangga yang sangat efektif. Konsep “ririk” dalam tradisi sasak, adalah upaya menempatkan serangga pada tempatnya, tanpa harus mengganggu kehidupan manusia. Apabila kita berhadapan dengan fauna, maka upaya dini dari system tradisional adalah membuatnya “menyingkir” bukan harus membunuhnya. Ajaran filosofis inilah yang diajarkan oleh para raja, datu dan pemangku adat, untuk membentuk suatu kesantuan, baik bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan, kawasan hutan, pesisiran maupun dilautan.
Berdasar dari filosofis besaran terhadap pelestarian ala mini, para raja,datu dan pemangku adat, mengejawantahkan nilai – nilai itu sebagai falsafah hokum dan diturunkan dalam bentuk “awig-awig”. Sisem awig-awig yang berkarakter antisipatif adalah upaya pemahaman “paramartha” dari kehidupan yang raya dan besar sebagai wujud kepahaman pada system makrokosmos.
Para Raja, Datu, dan pemangku adat adalah tubuh keraton itu sendiri. Dan Keraton, Puri, Puro dan Taman adalah bentuk padat dari seluruh jagadraya. Pemahaman yan g utuh tentang tubuh keraton dan tanggungjawa pada seluruh jagadraya sebagai bentuk kepemangkuan adalah manifestasi simbolismenya. Lantas, bagaimana pemahaman ini berdialog dengan zaman yang terus berkembang, disinilah tugas para trah, pewaris dan pelanjut kerajaan, kedatuan dan keraton nusantara, khususnya bagi masyarakat sasak yang sangat meyakini bahwa gumisasak adalah pusat dari segala pusat peradaban dunia. Wallahu alam bissawab..

Mataramya, gerbang peradaban, 20 mei 2009